“Saya sangat menggemari wayang. Kalau ada pertunjukan wayang, bisa nonton semalam suntuk. Saya juga senang sekali menonton film Mahabharata, Ramayana, serta Mahadewa lho…” demikian pernyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si dalam Studium General di Aula Kampus Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya, Sabtu 20 September 2014. Guru besar yang pernah menduduki jabatan sebagai Dirjen Pendidikan Agama Islam itu sengaja diundang untuk memberikan kuliah umum guna mengawali kegiatan akademik Semester Ganjil Tahun Akademik 2014/2015.
Mantan rektor UIN Sunan Ampel Surabaya itu berpesan agar para mahasiswa STAHN Tampung Penyang dapat meneledani para Pandawa dalam menggembleng diri agar menjadi manusia yang berkualitas. “Tirulah Bala Pandawa, mereka sedikit, tapi sangat kompeten dan berkualitas. Jangan seperti Bala Kaurawa, jumlah mereka 100 orang, tapi kualitas sumber daya manusianya sangat rendah. Suka berkonflik lagi… Apalagi, jangan sampai Anda jadi orang jahat seperti Sangkuni, lho ya…” tegas pria kelahiran Tuban, Jawa Timur itu.
Bagi saya, pernyataan Profesor Nur Syam itu menjadi satu lagi bukti betapa sesungguhnya pemikiran filosofi serta ajaran moral dalam Itihasa dan Purana Hindu telah tertanam secara mendalam dalam pemikiran beberapa tokoh agama dan cendikiawan Islam di Indonesia yang berpikiran terbuka. Salah satu tokoh penting dalam organisasi Nahdatul Ulama Jawa Timur itu secara terus terang mengakui bahwa karakter para tokoh Pandawa memiliki tempat tersendiri dalam pemikirannya. Menurutnya, ia mulai ‘mengenal’ kelima putra Pandu itu dari pertunjukan wayang purwa, yaitu pertunjukan wayang yang mendasarkan lakon atau pakemnya pada kisah Ramayana dan Mahabharata, sejak ia masih anak-anak. Mengapa kalangan umat Islam di Jawa masih menggemari wayang, padahal nama-nama tokoh dan skenario ceritanya jelas-jelas bernuansa Hindu?
Meski kini mulai tergeser oleh tayangan media elektronik, sejak ratusan tahun yang lalu, pertunjukan wayang merupakan salah satu media yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa. Seperti diketahui, wayang telah dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam yang efektif oleh para Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga. Hebatnya, para penyebar agama Islam di Jawa dan beberapa pujangga seperti Ranggawarsita, sukses ‘meng-Islamkan dan meng-Indonesiakan atau men-Jawa-kan’ lakon, pakem, atau skenario cerita wayang itu sedemikian rupa, sehingga orang yang menonton pertunjukan wayang itu tidak lagi merasa sedang menonton kisah sauri teladan Hindu yang berasal dari India. Tidak tanggung-tanggung, bahkan silsilah para dewa dan tokoh-tokoh tertentu dalam Mahabharata pun di otak-atik sedemikian rupa, sehingga ajaran mereka menjadi ‘halal’ untuk diterima dan dijalankan oleh umat Islam.
Sehubungan dengan perubahan silsilah itu, saya jadi teringat dengan penelitian saya pada tahun 2011, yang berjudul “TRANSFORMASI FIGUR, KARAKTER, DAN PERANAN ĀCĀRYA DALAM SASTRA HINDU INDIA KE DALAM DUNIA WAYANG KULIT PURWA DI JAWA (Studi Kasus terhadap Tokoh Ṛsi Nārada, Ṛsi Vyāsa, dan Dronācarya)”.
Berikut ini adalah kutipan tentang silsilah Rsi Narada, yang dikatakan sebagai keturunan Nabi Adam dan Hawa, dalam beberapa pakem pewayangan yang saya sarikan dari hasil penelitian tersebut, dengan penyajian tulisan secara bersambung…
Pengaruh Islamisasi Wayang terhadap Silsilah Ṛsi Nārada
Proses Islamisasi wayang merambah pula pada tataran konsep ketuhanan yang semula bernafaskan Hindu, secara perlahan diubah ke dalam konsep ketuhanan menurut Islam. Paham ketuhanan Hindu yang terkandung dalam Ramayana dan Mahabharata dianggap politeistik, dan karenanya bertentangan dengan paham ketuhanan Islam yang bersifat monoteis.
Banyaknya tokoh dewa-dewi Hindu yang mewarnai seluruh skenario kisah Ramayana dan Mahabharata secara perlahan diakulturasi dengan sistem keyakinan Islam, maupun sistem kepercayaan masyarakat Jawa. Perubahan itu dilakukan antara lain dengan mengubah silsilah, figur atau rupa, karakter, maupun proses kelahiran tokoh-tokoh dalam Ramayana dan Mahabharata agar sesuai dengan ajaran Islam dan sistem keyakinan masyarakat Jawa. Dalam hubungan dengan upaya perubahan itu, sering pula diciptakan tokoh-tokoh atau karakter baru yang sama sekali tidak ada dalam pakem atau skenario Ramayana dan Mahabharata di India.
Sutini (2009) menyatakan bahwa proses Islamisasi wayang purwa seperti itu juga berpengaruh terhadap silsilah dan kisah kelahiran Ṛsi Nārada dalam dunia wayang purwa di Jawa. Ṛsi Nārada yang dalam keyakinan Hindu adalah salah seorang dewaresi, dengan proses kelahiran, pencapaian pencerahan batin, dan peran yang khas Hindu, secara sistematis mengalami ‘islamisasi’ bersama para dewa Hindu lainnya. Islamisasi para dewa Hindu tersebut terlihat melalui diciptakannya silsilah baru para dewa, sebagaimana yang tertulis dalam Serat Paramayoga karya Ranggawarsita. Dalam silsilah baru itu, Bathara Narada bersama dewa-dewi Hindu ditempatkan sebagai keturunan Nabi Adam dan Hawa, yaitu manusia pertama ciptaan Allah dalam keyakinan Islam.
Dalam pewayangan, terdapat beberapa versi mengenai siapa sesungguhnya Batara Narada dan asal-usulnya. Menurut Padmosoekotjo (1979: 44) ada perbedaan antara asal usul Sang Hyang Narada dalam Serat Paramayoga dan asal-usul Sang Hyang Narada dalam Serat Purwakanda. Dalam Serat Paramayoga Sang Hyang Nārada dikenal pula dengan nama Sang Hyang Kanwakaputra atau Sang Hyang Kanekaputra. Ia adalah putra sulung dari empat bersaudara putra Sang Hyang Caturkanaka dengan Dewi Laksmi, yang berarti cucu Sang Hyang Wening, adik Sang Hyang Wenang. Tiga saudara kandungnya masing-masing bernama: Sang Hyang Pitanjala, Dewi Tiksnawati, dan Sang Hyang Caturwarna.
Silsilah para nabi dan dewa-dewi Hindu yang disusun oleh Ki Ranggawarsito. seorang pujangga Jawa dari Keraton Surakarta. Rsi Narada disebut sebagai Kanekaputra, adalah keturunan Nabi Adam dati garis Nabi Sis.
Dalam tataran paham ajaran Hindu, kedudukan para dewa lebih tinggi derajat dan kemampuannya dibandingkan dengan manusia. Oleh karena itu, penempatan Bathara Narada sebagai keturunan Nabi Adam dan Hawa, sesungguhnya sulit untuk diterima dalam konsep agama Hindu. Tapi, mengapa para pujangga itu bisa dengan ‘nyaman’ dan tanpa merasa bersalah melakukan hal tersebut?
0 Komentar untuk "Pengaruh Islamisasi: Batara Narada dalam Dunia Pewayangan Adalah Keturunan Nabi Adam dan Bergelar Haji?"